Solusinya adalah dengan mengawasi anak secara intensif agar
anak selalu terjaga dari pelecehan seksual, karena orang yang mengalami
pedofilia sulit untuk diidentifikasi. Juga para orang tua harus mengetahui
keadaan psikologi anaknya.
Sunday, June 15, 2014
Pendapat Pribadi Tentang Pedofilia
Pendapat saya mengenai pedofilia adalah sebuah gangguan
kejiwaan yang dialami oleh seorang dewasa pada anak yang belum dewasa. Tetapi
masalah apakah pedofilia itu penyakit atau orientasi seks masih didalami oleh
para ilmuwan, tetapi sementara ini pedofilia dikategorikan sebagai gangguan
kejiwaan oleh para ahli.
Dewasa ini, semakin banyak kasus pedofilia yang terjadi di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Kasus yang paling terkenal di Indonesia
adalah kasus pelecehan seksual terhadap murid TK Jakarta International School
oleh seorang mantan gurunya yang ‘bule’. Adalagi surat kabar yang memberitakan
bahwa kepala sekolah tersebut juga mengalami pedofilia. Benar atau tidak saya
tidak tahu.
Kesimpulan yang bisa saya ambil adalah bahwa pedofilia ini bisa
saja menular lewat psikologis masing-masing pribadi. Kemudian para pedofil,
sebutan untuk seseorang yang mengalami pedofilia, membuat sebuah komunitas yang
isinya para pedofil. Kemudian mereka membuat strategi bagaimana caranya mereka
bisa menuangkan hasrat seksual mereka. Salah satunya dengan menjadi guru Taman
Kanak-kanak, agar bisa dekat dengan calon korban.
Pendapat saya diatas hanyalah penalaran subyektif saya
mengenai strategi bagaimana para pedofil mencari ‘mangsa’nya. Karena selama ini,
setahu saya, para pedofil dapat divonis pedofilia setelah terdapat korban.
Tetapi, sebenarnya pedofil tidak selalu melakukan pelecehan seksual terhadap
anak, ada juga pedofil yang memang mengalami pedofilia tetapi tidak melakukan
pelehan seksual.
Definisi Pedofilia
Sebagai
diagnosa medis, pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada
orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau
lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau
eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun
pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam
kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai
pedofilia. Kata pedofilia berasal dari bahasa Yunani:
paidophilia (παιδοφιλια)—pais (παις, "anak-anak") dan philia
(φιλια, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan",
meskipun ini arti harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual pada zaman
modern, berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak,"
oleh pedofil yang menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi
mereka. Klasifikasi Penyakit
Internasional (ICD) mendefinisikan pedofilia sebagai "gangguan
kepribadian dewasa dan perilaku" di mana ada pilihan seksual untuk
anak-anak pada usia pubertas atau pada masa prapubertas awal. Istilah ini
memiliki berbagai definisi seperti yang ditemukan dalam psikiatri,
psikologi,
bahasa setempat, dan penegakan
hukum.
Menurut Diagnostik
dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia
di mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan
seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan di mana perasaan mereka memiliki
salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal.
Pada saat ini rancangan DSM-5 mengusulkan untuk menambahkan hebefilia
dengan kriteria diagnostik, dan akibatnya untuk mengubah nama untuk gangguan
pedohebefilik. Meskipun gangguan ini (pedofilia) sebagian besar
didokumentasikan pada pria, ada juga wanita yang menunjukkan gangguan tersebut,
dan peneliti berasumsi perkiraan yang ada lebih rendah dari jumlah sebenarnya pada
pedofil perempuan. Tidak ada obat untuk pedofilia yang telah dikembangkan.
Namun demikian, terapi tertentu yang dapat mengurangi kejadian seseorang untuk
melakukan pelecehan seksual terhadap anak.
Di Amerika Serikat, menurut Kansas v. Hendricks,
pelanggar seks yang didiagnosis dengan gangguan mental tertentu, terutama
pedofilia, bisa dikenakan pada komitmen sipil yang tidak
terbatas, di bawah undang-undang berbagai negara bagian (umumnya disebut hukum
SVP) dan Undang-Undang
Perlindungan dan Keselamatan Anak Adam Walsh pada tahun 2006.
Dalam
penggunaan populer, pedofilia berarti kepentingan seksual pada anak-anak atau
tindakan pelecehan seksual terhadap anak, sering disebut "kelakuan
pedofilia." Misalnya, The American Heritage Stedman's Medical
Dictionary menyatakan, "Pedofilia adalah tindakan atau fantasi pada
dari pihak orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak atau
anak-anak." Aplikasi umum juga digunakan meluas ke minat seksual dan
pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur atau remaja pasca pubertas dibawah umur.
Para peneliti merekomendasikan bahwa tidak tepat menggunakan dihindari, karena
orang yang melakukan pelecehan seksual anak umumnya menunjukkan gangguan
tersebut, tetapi beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk
pedofilia, dan standar diagnosis klinis berkaitan dengan masa prapubertas.
Selain itu, tidak semua pedofil benar-benar melakukan pelecehan tersebut.
Pedofilia
pertama kali secara resmi diakui dan disebut pada akhir abad ke-19. Sebuah
jumlah yang signifikan di daerah penelitian telah terjadi sejak tahun 1980-an.
Saat ini, penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara meyakinkan.
Penelitian menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi dengan beberapa
kelainan neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan adanya gangguan
kepribadian lainnya dan patologi psikologis. Dalam konteks psikologi forensik dan penegakan hukum,
berbagai tipologi telah disarankan
untuk mengkategorikan pedofil menurut perilaku dan motivasinya
Model penyakit
Istilah erotika
pedofilia diciptakan pada tahun 1886 oleh psikiater asal Wina, Richard von Krafft-Ebing dalam tulisannya Psychopathia Sexualis.
Istilah ini muncul pada bagian yang berjudul "Pelanggaran Individu Pada
Abad Empat belas," yang berfokus pada aspek psikiatri forensik dari
pelanggar seksual anak pada umumnya. Krafft-Ebing menjelaskan beberapa tipologi
pelaku, membagi mereka menjadi asal usul psikopatologis dan
non-psikopatologis, dan hipotesis beberapa faktor penyebab yang terlihat yang
dapat mengarah pada pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Krafft-Ebing
menyebutkan erotika pedofilia dalam tipologi "penyimpangan
psiko-seksual." Dia menulis bahwa ia hanya menemukan empat kali selama
karirnya dan memberikan deskripsi singkat untuk setiap kasus, daftar tiga ciri
umumnya yaitu:
- Individu tercemari [oleh keturunan] (belastate hereditär).
- Daya tarik utama subyek adalah untuk anak-anak, daripada orang dewasa.
- Tindakan yang dilakukan oleh subjek biasanya tidak berhubungan, melainkan melibatkan tindakan yang tidak pantas seperti menyentuh atau memanipulasi anak dalam melakukan tindakan pada subjek.
Dia
menyebutkan beberapa kasus pedofilia di kalangan perempuan dewasa (yang
disediakan oleh dokter lain), dan juga dianggap sebagai pelecehan terhadap anak
laki-laki oleh laki-laki homoseksual menjadi sangat langka. Lebih lanjut
mengklarifikasi hal ini, ia menunjukkan bahwa kasus pria dewasa yang memiliki
gangguan kesehatan atau neurologis dan pelecehan terhadap seorang anak laki-laki yang
bukan pedofilia yang sebenarnya, dan bahwa dalam korban pengamatannya adalah
orang-orang seperti itu cenderung lebih tua dan dibawah umur. Dia juga
mencantumkan "Pseudopaedofilia" sebagai kondisi istimewa dimana
"individu yang telah kehilangan libido untuk
orang dewasa melalui masturbasi dan kemudian berbalik kepada anak-anak untuk
pemuasan nafsu seksual mereka" dan menyatakan ini jauh lebih umum.
Pada tahun
1908, neuroanatomis dan psikiater asal Swiss, Auguste Forel menulis
tentang fenomena tersebut, mengusulkan bahwa hal itu disebut sebagai
"Pederosis," pada "Nafsu Seksual pada Anak." Mirip dengan
karya Krafft-Ebing, Forel membuat perbedaan antara pelecehan seksual insidentil
oleh orang dengan demensia dan kondisi otak organik, dan keinginan seksual yang
benar-benar istimewa dan kadang-kadang eksklusif pada anak-anak. Namun, ia
tidak setuju dengan Krafft-Ebing dimana bahwa ia merasakan kondisi yang kedua
adalah terutama tertanam dan tak berubah.
Sumber: Wikipedia.org
Bunga Lambang Provinsi di Indonesia
Bunga Lambang Provinsi Papua
Matoa (Pometia pinnata) adalah
tanaman buah khas Papua, tergolong pohon besar dengan tinggi rata-rata 18 meter
dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm. Umumnya berbuah sekali dalam
setahun.Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan
kemudian. Penyebaran buah matoa di Papua hampir terdapat di seluruh wilayah
dataran rendah hingga ketinggian ± 1200 m dpl. Tumbuh baik pada daerah yang
kondisi tanahnya kering (tidak tergenang) dengan lapisan tanah yang tebal.
Iklim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang baik adalah iklim dengan curah
hujan yang tinggi (>1200 mm/tahun).Matoa juga terdapat di beberapa daerah di
Sulawesi, Maluku, dan Papua New Guinea. Buah matoa memiliki rasa yang manis.
Di Papua
dikenal 2 jenis matoa, yaitu Matoa Kelapa dan Matoa Papeda. Ciri yang
membedakan keduanya adalah terdapat pada tekstur buahnya, Matoa Kelapa
dicirikan oleh daging buah yang kenyal seperti rambutan aceh, diameter buah
2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan Matoa Papeda dicirikan
oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0
cm.Tanaman ini mudah beraptasi dengan kondisi panas maupun dingin. Pohon ini
juga tahan terhadap serangga, yang pada umumnya merusak buah.
Karakter Wayang Idola
ARJUNA
Arjuna (Dewanagari: अर्जुन; IAST: Arjuna)
adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia
dikenal sebagai anggota Pandawa yang berparas menawan dan berhati lemah lembut.
Dalam Mahabharata diriwayatkan bahwa ia merupakan putra Prabu Pandu,
raja di Hastinapura dengan Kunti atau Perta, putri Prabu Surasena, raja Wangsa
Yadawa di Mathura. Mahabharata mendeskripsikan Arjuna sebagai teman
dekat Kresna, yang disebut dalam kitab Purana sebagai awatara
(penjelmaan) Dewa Wisnu. Hubungan antara Arjuna dan Kresna sangat erat,
sehingga Arjuna meminta kesediaannya sebagai penasihat sekaligus kusir kereta
Arjuna saat perang antara Pandawa dan Korawa berkecamuk (Bharatayuddha).
Dialog antara Kresna dan Arjuna sebelum perang Bharatayuddha berlangsung
terangkum dalam suatu kitab tersendiri yang disebut Bhagawadgita, yang
secara garis besar berisi wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna karena
Arjuna mengalami keragu-raguan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang
kesatria di medan perang.
Dalam bahasa
Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar
terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya,
kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".
Saat Arjuna menjalani masa penyamaran (tercatat dalam kitab Wirataparwa),
ia berperan sebagai pelatih tari di keraton Raja Wirata, dan bersedia menjadi
kusir kereta Pangeran Utara saat terjadi invasi Kerajaan Kuru. Untuk meyakinkan
sang pangeran bahwa ia adalah Arjuna putra Pandu yang sedang menyamar, maka
Arjuna membeberkan sepuluh namanya:
- Arjuna (अर्जुन Arjuna): yang tak ternoda dan bersinar keperakan.
- Palguna (फल्गुन Phalguna): yang lahir ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di zenith.
- Jisnu (जिष्णु Jiṣṇu): yang hebat ketika marah.
- Kiriti (किरीटिं Kirīṭin): yang bermahkota indah (kiriti) pemberian Dewa Indra.
- Swetawahana (श्वेतवाहन Śvetavāhana): yang memiliki wahana berwarna putih.
- Bibatsu (बिभत्सुः Bibhatsuḥ): yang tidak pernah bertarung secara curang.
- Wijaya (विजय Vijaya): yang berjaya, merujuk kepada prestasi Arjuna yang selalu memenangkan pertempuran yang dihadapinya.
- Parta (पार्थ Pārtha): matronim dari Perta, secara harfiah berarti "anak Perta" (nama lain Kunti).
- Sawyasaci (सव्यसाचिं Savyasācin): yang bisa menggunakan kedua tangannya untuk menembakkan anah panah.
- Dananjaya (धनंजय Dhanaṅjaya): yang mahir menguasai busur panah (dhanu).
Di samping
nama lain Arjuna yang disebutkan dalam Wirataparwa, ada sejumlah nama
lain yang ditemui dalam kitab Bhagawadgita yang merupakan bagian dari Bhismaparwa.
Beberapa nama lain yang dapat ditemui yaitu sebagai berikut:
- Anaga (अनघ Anagha): yang tak tercela.
- Barata (भारत Bhārata): keturunan Bhārata.
- Baratasresta (भारतश्रेष्ठ Bhārataśreṣṭha): keturunan Bharata yang terbaik.
- Baratasatama (भारतसत्तम Bhāratasattama): keturunan Bharata yang utama.
- Baratasaba (भारतशभा Bhārataśabhā): keturunan Bharata yang mulia.
- Gandiwi (गन्दीवि Gandīvi): pemilik Gandiwa (busur panah sakti).
- Gudakesa (गुदकेश Gudakeśa): penakluk rasa kantuk.
- Kapidwaja (कपिध्वज Kapidhwaja): yang memakai panji berlambang monyet.
- Kurunandana (कुरुनन्दन Kurunandana): putra kesayangan wangsa Kuru.
- Kuruprawira (कुरुप्रविर Kurupravīra): perwira wangsa Kuru.
- Kurusatama (कुरुसत्तम Kurusattama): keturunan wangsa Kuru yang utama.
- Kurusresta (कुरुश्रेष्ठ Kuruśreṣṭha): keturunan wangsa Kuru yang terbaik.
- Mahabahu (महाबाहु Mahābāhu): yang berlengan perkasa.
- Parantapa (परंतप Paraṃtapa): penakluk musuh.
- Purusaresaba (पुरुषऋषभा Puruṣaṛṣabhā): yang terbaik di antara manusia.
Dalam Adiparwa diceritakan bahwa Duryodana—salah satu
Korawa—menganjurkan agar Pandawa beserta ibunya (Kunti) berlibur di suatu rumah
di luar kerajaan. Sesungguhnya Duryodana telah mempersiapkan agar rumah
tersebut dapat terbakar dengan mudah, karena ia membenci para Pandawa, terutama
Bima. Widura, paman para Pandawa dan Korawa yang waspada meminta agar para
Pandawa berhati-hati dan mempersiapkan cara untuk menghadapi kemungkinan buruk
yang dapat terjadi. Saat para Pandawa menginap, Purocana, pesuruh Duryodana
membakar rumah tersebut. Para Pandawa beserta ibunya berhasil lolos melalui
terowongan yang telah digali sebelumnya. Mereka melarikan diri ke tengah hutan
dan menumpang di rumah penduduk sekitar.
Pada suatu ketika, sekelompok brahmana berkumpul di tempat para Pandawa
melarikan diri. Mereka membicarakan sebuah sayembara yang akan diadakan di
Kerajaan Panchala. Para Pandawa datang ke tempat sayembara dengan menyamar
sebagai kaum brahmana. Raja Drupada dari Panchala mengadakan sayembara untuk
mendapatkan Dropadi, putrinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah
balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang
berada di atas. Aturan menyebutkan bahwa siapa pun yang berhasil memanah ikan
tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, maka ia berhak mendapatkan
Dropadi.
Berbagai
kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir
pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik.
Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna
bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri
sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya
melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.
Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka mengaku telah membawa
sedekah. Kunti—ibu para Pandawa—yang sedang sibuk, menyuruh mereka untuk
membagi rata apa yang sudah mereka dapatkan. Sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri
mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang
bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari
perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama satu tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang
memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan
melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna bergegas
mengambil senjatanya, namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar tempat
Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna
rela masuk kamar mengambil senjata, tanpa memedulikan Yudistira dan Dropadi
yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk
menjalani pembuangan selama satu tahun.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru
Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna
bertemu dengan Ulupi, putri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna
terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil
perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan. Setelah
itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah
mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia
sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama
Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā.
Arjuna jatuh cinta kepada putri tersebut dan hendak menikahinya, namun
Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila putrinya tersebut melahirkan
seorang putra, maka anak putrinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura
oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat
tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang
putra yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya
terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah tinggal selama beberapa
bulan di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.
Setelah
meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia
sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia
berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat.
Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang
terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia
menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama
Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa, Arjuna
mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana
untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna,
namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna
tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua
kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan
perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan
kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk
melangsungkan pernikahan.
Baladewa
marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna
meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri
yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga
mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan
tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah
Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan
yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum
Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta
pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa
hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau
Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria dari pihak Korawa, dan tidak
jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma. Di
awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia
masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-kali, dan
Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di
hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan
atas bantuan dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari
ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas
kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang
senja hari, dengan bantuan dari Kresna.
Pada
pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan
Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta
Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset
beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta
Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk
mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak
untuk membantunya. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan
penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Pada saat itulah
Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan
tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna
melepaskan panah Rudra yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal
kepala Karna.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Arjuna
Subscribe to:
Posts (Atom)