Wednesday, February 10, 2016

Kebijakan Pemerintah Mengenai Pembuatan IMB di Indonesia



IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB menunjukkan bahwa rencana kostruksi bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama.
Proses pembuatan IMB sudah merupakan perhatian mendasar bagi publik karena masyarakat belum merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan, sehingga berdampak pada masih ada sebagian masyarakat yang tidak memiliki izin pada saat mendirikan bangunan. Masalah ini belum teratasi oleh pihak pemerintah disebabkan dalam menjalankan pelayanan kurang maksimal, biasanya di sebabkan karena:
1.        Prosedurnya terlalu berbelit-belit.
2.        Kurangnya kejelasan teknis administrasi maupun biaya.
3.        Tidak tepatnya waktu dalam pengurusan sehingga masyarakat harus menunggu sangat lama.
4.        Kurangnya rasa keamanan yang diterima oleh masyarakat seolah-olah masyarakat dibohongi sehingga masyarakat kurang berkeinginan untuk mengurus IMB.
5.        Kurangnya rasa tanggungjawab yang diberikan oleh aparat pemerintah.
6.        Tidak lengkapnya sarana dan prasarana.
7.        Kurangnya kesopanan dan juga keramahan yang diberikan oleh aparatur pemerintah sehingga masyarakat merasa kurang nyaman.
8.        Permintaan biaya administrasi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Namun selain kekurangan pemerintah dalam pelayanan pembuatan IMB terdapat juga kelebihan yaitu:
1.      Izin Mendirikan Bangunan online (IMB online).  Adalah pelayanan pembuatan IMB dengan sistem online
2.      Warga dapat menyampaikan kritik dan saran kepada pemerintah secara online.

Saturday, March 7, 2015


Pendidikan Kewarganegaraan

Pengertian Bangsa, Negara, dan Hak dan Kewajiban Warga Negara









Nama: Septian Nugraha D
NPM: 28313384
Kelas: 2TB04









Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia-yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan-menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbesa seseuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbedatersebut ditanggapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai-nilia ini dilandasai oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya NKRI dalam wadah Nusantaara.

Landasan Hukum
Undang-Undang nomor 2 Tahun 1089 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali perserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dan negara seta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh Bangsa dan NKRI.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan mebuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang:
1)     Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa.
2)     Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3)     Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
4)     Bersifat profesional, yang dijiwai oleh kesadaran Bela Negara.





Pengertian Bangsa menurut Badri Yatim yaitu bangsa dalam pengertian sosiologis antropologis dan bangsa dalam pengertian politis.

Pengertian Bangsa dalam Arti Sosiologis Antropologis

Pengertian Bangsa dalam Arti Sosiologis Antropologis adalah persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri yang masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan bahasa, ras, adat istiadat dan agama. Jadi, mereka menjadi satu bangsa karenadisatukan oleh kesamaan budaya, ras, keyakinan, bahasa dan sebagainya. Ikatan yang demikian itu disebut ikatan primordial. Persekutuan hidup masyarakat yang semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan persekutuan hidup yang mayoritas (sebagian besar) dan dapat pula persekutuan hidup minoritas (sebagian kecil).
Satu negara dapat terdiri dari beberapa bangsa. Contohnya Amerika Serikat terdiri dari bangsa Negro, bangsa Cina, bangsa Yahudi, bangsa Indian dan lain-lainnya yang dahulunya merupakan kaum pendatang. Sri Lanka terdiri dari bangsa Tamil dan bangsa Sinhala. Yugoslavia dahulu terdiri dari banyak bangsa seperti Bosnia, Montenego dan Serbia. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai bangsa yang tersebar dari Aceh sampai Irian Jaya, seperti Batak, Minangkabau, Banjar, Dayak, sunda dan sebagainya.

Pengertian Bangsa dalam Arti Politis
Pengertian Bangsa dalam Arti Politik adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk pada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke dalam dan ke luar. Jadi, mereka diikat oleh kekuasaan politik, dalam hal ini yaitu negara.
Jadi, Pengertian Bangsa dalam Arti Politik ialah bangsa yang sudah bernegara dan mengakui serta tunduk pada kekuasaan dari negara yang bersangkutan. Setelah mereka bernegara maka terciptalah bangsa. Contohnya, kemunculan bangsa Indonesia (arti politis) setelah terciptanya negara Indonesia.
Pengertian Bangsa dalam arti Sosiologis Antropologis sekarang ini lebih dikenal dengan istilah ethnic, suku dan suku-bangsa. Hal ini agar dapat membedakan dengan bangsa yang sudah beralih dalam arti politis. Akan tetapi, kita masih saja mendengar istilah bangsa dalam arti Sosiologis Antropologis untuk menunjuk pada persekutuan hidup tersebut. Contohnya bangsa Moro, bangsa Yahudi, bangsa Kurdi dan bangsa Tamil. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen, karena miliki banyak bangsa di dalamnya.

Demikianlah pembahasan mengenai pengertian bangsa, semoga tulisan saya mengenai pengertian bangsa dapat bermanfaat.

Pengertian Negara
Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok manusia yang mendiami suatu wilayah tertentu dan mengetahui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan kelompok tersebut. Negara juga diartikan sebagai suatu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hokum yang mengikat masyarakatnya demi ketertiban sosial.
-          Negara merupakan alat masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat. Negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan. Tugas utama Negara yaitu :
-          Mengatur dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain.
-          Mengatur dan menyatukan kegiatan manusia dan golongan untuk menciptakan tujuan bersama yang disesuaikan dan diarahkan pada tujuan Negara.
Teori Terbentuknya Negara
-          Teori Hukum Alam (Plato dan Aristoteles)
-          Teori Ketuhanan
Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan, begitupun dengan Negara.
-          Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)
Manusia bersatu membentuk negara untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.
Negara juga dapat terbentuk karena :
-          Penaklukan
-          Peleburan
-          Pemisahan diri
-          Pendudukan suatu wilayah

UNSUR NEGARA
Konstitutif
Negara meliputi wilayah udara,darat,perairan,rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat.
Wilayah : Batas wilayah suatu negara ditentukan dalam perjanjian dengan negara lain. Perjanjian itu disebut Perjanjian Internasional, Perjanjian dua negra disebut Perjanjian Bilateral, sedangkan apabila dilakukan oleh banyak negara disebut Perjanjian Multilateral.
Rakyat : Harus ada orang yang berdiam di negara tersebut dan untuk menjalankan pemerintahan.
Pemerintah : Negara harus mempunyai suatu badan yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan yang mengikat rakyatnya.

Deklaratif
Negara mempunyai tujuan, UUD, kedaulatan, pengakuan dari negara lain secara de jure dan de facto, dan ikut dalam PBB.
Tujuan : Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama dari para anggotanya. Beberapa tujuan negara antara lain :
a. Perluasan kekuasaan (Menurut Machiavelli dan Shang Yang)
b. Perluasan kekuasaan untuk tujuan lain
c. Penyelenggaraan ketertiban hukum
d. Penyelenggaraan kesejahteraan umum

Kedaulatan : Kekuasaan tertinggi untuk memaksa rakyatnya mentaati dan melaksanakan peraturan (Kedaulatan ke dalam). Negara juga harus mempertahankan kemerdekaannya (Kedaulatan ke luar). Negara menuntut kesetiaan yang mutlak dari rakyatnya.
Sifat –sifat Kedaulatan
Permanen : Kedaulatan hanya akan lenyap bersama dengan lenyapnya negara.
Absolut : Tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaan negara.
Tidak Terbagi : Kekuasaan pemerintah dapat dibagi, tapi kekuasaan tertinggi negara tidak dapat dibagi-bagi.
Tidak Terbatas : Kedaulatan berlaku untuk setiap orang tanpa kecuali.



Sumber Kedaulatan
a. Teori Kedaulatan Tuhan
Segala sesuatu berasal dari Tuhan, demikian juga dengan kedaulatan. Pemerintah wajib
menggunakan kedaulatan tersebut sesuai kehendak Tuhan.
b. Teori Kedaulatan Rakyat
Pemerintah diberi kekuasaan oleh rakyat yang berdaulat dan pemerintah melakukannya atas nama
rakyat.
Tokoh : Rousseau, John Locke, Montesquieu.
c. Teori Kedaulatan Negara
Kedaulatan dianggap ada seiring dengan lahirnya suatu negara. Sehingga, negara lah sumber
kedaulatannya sendiri.
Tokoh : Jellineck, Paul Laband.
d. Teori Kedaulatan Hukum
Kedudukan dan martabat hukum lebih tinggi dari negara, sehingga hukumlah yang berdaulat.
BENTUK NEGARA
Negara Kesatuan (Unitarisme)
Negara yang merdeka dan berdaulat, dimana kekuasaannya atau pemerintahannya berada di Pusat.

Bentuk Negara Kesatuan
Negara dengan sistem sentralisasi
Segala sesuatu dalam negara diatur langsung oleh pemerintah pusat
(+)
Berlakunya peraturan yang sama di setiap wilayah negara.
Penghasilan daerah dapat digunakan untuk keperluan seluruh negara.

(-)
Menumpuknya pekerjaan di pusat.
Keterlambatan keputusan dari Pusat.
Ketidakcocokan keputusan Pusat dengan keadaan Daerah.
Rakyat kurang mendapat kesempatan untuk bertanggung jawab terhadap daerahnya.
Negara dengan sistem desentralisasi.
Dearah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Negara Serikat (Federasi)
Adanya negara bagian di dalam suatu negara yang terjadi karena penggabungan beberapa negara yang awalnya berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Kemudian bergabung dalam suatu ikatan kerjasama yang efektif. Masing-masing negara melepaskan kekuasaan dan menyerahkannya kepada Negara Federal. Kekuasaan yang diserahkan, disebutkan satu persatu (Liminatif) dan hanya kekuasaan yang disebut itulah yang diserahkan. Sehingga kekuasaan asli ada pada negara bagian. Kekuasaan yang biasanya diserahkan adalah urusan luar negeri,pertahanan negara dan keuangan.


Pengertian Hak dan Kewajiban Warga Negara

Hak adalah benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah di tentukan oleh UU, peraturan.
Contoh Hak :
           Hak amandemen, hak untuk mengusulkan perubahan Rancangan UU.
           Hak angket, hak DPR untuk mengadakan penyelidikan tentang ketidakberesan lembaga – lembaga pemerintah, atau tentang tindakan – tindakan para anggota dewan.
          Hak asasi, hak yang dasar atau pokok, misalnya hak hidup, hak mendapatkan perlindungan, hak mengeluarkan pendapat, hak hidup layak, dan sebagainya.
     Hak cipta, hak seseorang terhadapan hasil penemuannya yang dilindungi oleh UU (seperti hak cipta mengarang, menulis buku,mengubah musik)
     Hak inisiatif, hak anggota DPR untuk mengajukan UU mengenai masalah tertentu kepada pemerintah
     Hak prerogatif, hak khusus atau istimewa yang ada pada seseorang karena kedudukkannya sebagai Kepala Negara. Misalnya memberi grasi,amnesti,tanda gas, gelar kehormatan, dan lain - lain.


Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan.
Contoh Kewajiban :
-           Dalam jual beli, bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib membayar barang tsb.
-          Memakai kendaraan beroda dua atau beroda empat, maka kita wajib membayar pajak tsb.
-          Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh.
-           Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda).
-          Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya.
-           Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara Indonesia.
-           Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik

Perwujudan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan peristiwa hukum. Segala peristiwa atau kejadian dalam keadaan tertentu adalah peristiwa hukum. Untuk terciptanya suatu hak dan kewajiban diperlukan terjadinya peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai akibat. Karena pada umumnya hukum itu bersifat pasif.
Contoh : Terdapat ketentuan "barangsiapa mencuri, maka harus dihukum". Maka bila tidak terjadi peristiwa pencurian maka tidaklah ada akibat hukum.






DAFTAR PUSTAKA


Winarno, 2008. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Yang Menerbitkan PT Bumi Aksara : Jakarta.

Haryawantiyoko.Katuuk, Neltje F.1996.MKDU Ilmu Sosial Dasar.Penerbit Gunadarma:Jakarta

Sumali, Agus M.M. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMK Kelas XII. Yudhistira

http://tyanpes.blogspot.com/2015/03/pendidikankewarganegaraan.html



Thursday, November 13, 2014

Pancasila Sebagai Etika Politik



I. PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Pancasila adalah dasar negara indonesia, yang memegang perananpenting bagi kehidupan bangsa indonesia, salah satunya adalah “pancasila sebagai etika politik”. Sila-sila didalamnya saling terkait satu sama lain dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saling menjelaskan. Karena itu apabila ditafsirkan secara benar akan menjelma sebagai suatu system falsafah yang sejalan dengan budaya bangsa. Di dunia internasional bangsa indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki etika yang baik, rakyatnya ramah dan santun. Hal ini karena kesadaran masyarakat dalam menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila tersebut.

Etika politik meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia, yaitu bahwa manusia pada hakikatnya itu merupakan individu dan anggota sosial sekaligus, merupakan pribadi merdeka dan makhluk Tuhan sekaligus. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang beradab dan berbudaya, yang tidak bisa hidup di luar adab dan budaya tertentu. Dalam etika politik, manusia dipandang sebagai subyek yang merdeka dalam dirinya sendiri dengan kepercayaan dan pandangan hidup yang dianutnya. Ukuran paling utama dalam etika politik ialah harkat dan martabat manusia..

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas kiranya ada titik-titik penting yang bisa kita bahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut ;
Pengertian Etika Politik
Pengertian  Nilai, Norma dan Moral
Hubungan Antara Nilai, Norma,dan Moral
Nilai-Nilai dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
C.       Tujuan
Tujuan dan kegunaan dalam makalah ini adalah,
Untuk mengetahui pengertian etika politik
Untuk mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
Dapat mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
Dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Politik

A.1. Pengertian Etika dan Bagian-Bagiannya

Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita  harus menggambil sikap yang bertanggungjawab terhadap berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai “susila” dan “tidak susila“, “baik” dan “buruk“.
Etika dibagi menjadi dua, yaitu,Etika Deskriptifdan Etika Normatif. Etika Deskriptif yaitu bagian etika yang memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat. Sedangkan Etika Normatif,yaitu bagian etika yang membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia.Etika Normatif ini dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu ;
Etika Umum,merupakan prinsip­-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia secara umum.
Etika Khusus,merupakan prinsip-prinsipkewajiban manusia terhadap diri sendiri (etika individu), dan kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam­ hidup bermasyarakat (etika sosial). Etika Khusus ini mencakupjugaetika terapanyaitu etika yang diterapkan pada suatu profesi.
A.2. Pengertian Politik

Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata “politis” berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata “politisi” berarti orang-orang yang menekuni hal politik[1].Sedangkan secara terminologi politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan dan tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).

Jadi Etika Politik adalah prinsip-prinsip etika dalam mengusahakan terbinanya warga negara yang baik, bersusila, dan setia pada negara. Ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban moral dari setiap warga Negara.

B.       Pengertian Nilai,  Norma, dan Moral

B.1. Pengertian Nilai

Nilai, menurut Djahiri (1999), adalah harga, makna, isi dan pesan, semangat, atau jiwa yang tersurat dan tersirat dalam fakta, konsep, dan teori, sehingga bermakna secara fungsional. Disini, nilai difungsikan untuk mengarahkan, mengendalikan, dan menentukan kelakuan seseorang, karena nilai dijadikan standar perilaku. Sedangkan menurut Dictionary dalam Winataputra (1989), nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga.Pendidikan nilaiberarti pendidikan yang mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai dalam diri siswa. Jadi Nilai adalah  suatu bobot atau kualitas yang ada pada sesuatu yang dianggap berharga, berguna, dan memiliki manfaat. Contoh : Nilai benda kayu jati dianggap tinggi, sehingga kayu jati memiliki nilai jual lebih mahal daripada kayu jenjen atau kayu lainnya. Secara instrinsik kayu jati adalah kayu yang memiliki kualitas yang baik, tangguh, tidak mudah kropos, dan lebih kuat daripada jenis kayu yang lain seperti jenjen. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kayu jati, menurut pandangan masyarakat khususnya pemborong, nilainya mahal.

B.2. Pengertian Norma

Norma adalah tolok ukur atau alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan tindakan manusia. Normal juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar – salah. Jadi norma merupakan petunjuk hidup bagi warga yang ada dalam masyarakat yang mengandung sanksi bagi pelanggarnya. Siapa saja, baik individu maupun kelompok, yang melanggar norma dapat hukuman yang berwujud sanksi, seperti sanksi agama dari Tuhan dan dapartemen agama, sanksi akibat pelanggaran susila, kesopanan, hukum, maupun kebiasaan yang berupa sanksi moral dari masyarakat.


B.3. Pengertian Moral

Moral, menurut Suseno (1998) adalah ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Pendidikan moralberarti pendidikan untuk menjadaikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (1997), moral adalah prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu atau seseorang. Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan.

C.      Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang  seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki pondasi yang kuat, tumbuh dan berkembang. Sebagaimana telah disebutkan di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya.

Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak  boleh dilakukan seseorang. Karena wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

D.      Nilai-nilai Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan nilai kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan, asas legalitas atau sesuai hukum yang berlaku (legitimasi hukum), di sahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kebijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2).
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
III. PENUTUP
Simpulan
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagaipelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi W. M. 2006.Makalah Pancasila Sebagai Etika Politik Dan DasarNegara.(Makalah ini disampaikan pada mata kuliah pancasila di ICAS  Jakarta, 06 november 2006)

Suseno, Franz-Magniz. 2003. Etika politik; prinsip prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia

An9el. 2012. Makalah Pancasila Sebagai Etika-Politik. http://an9elcom.blogspot.com/2012/11/makalah-pancasila-sebagai-etika-politik.html.

UNSUR-UNSUR PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


Pancasila adalah suatu sistem nilai yang merupakan kristalisasi nilai-nilai dari sari-sari kebudayaan bangsa sepanjang sejarah telah menjamin keselarasan dan kesejahteraan antar warga masyarakat. Kenyataan ini tampak dalam sikap hidup yang mengutamakan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan interaksi yang baik pada lingkungan.

Adapun alasan Pancasila dianggap sebagai ajaran Filsafat :
1. Secara formal, yurudis konstitusional pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia.
2. Secara material, isi dan inti pancasila adalah nilai Filsafat.
3. Secara praktis, pancasila disebut pandangan hidup bangsa.
4. Secara potensial, nilai-nilai dalam pancasila adalah filsafat Negara RI yang tumbuh dan berkembang untuk menyongsong masa depan nasional.
5. Kewajiaban tiap warga negara untuk menyakini dan mengamalkan serta melestarikan nilai-nilai pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara RI.

5 Pokok Ajaran Filsafat:
a. Paham Ketuhanan YME,
b. Paham Kemanusiaan dan Kebangsaan,
c. Paham Kerakyatan,
d. Paham Keadilan Sosial,
e. Pokok ajaran sebagai filsafah sosial.

Pengertian filsafah menurut Hasbulloh Bakri mengatakan bahwa Filsafah adalah sejenis pengetahuan uang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya sejauh yang dapat dibaca oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu. Sedangkan menurut Aristoteles, Filsafat adalah pengetahuan mengenai kebenaran yang tergabung di dalamnyametafisika, logika, ekonomi, politik dan estetika.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dalam hal kualitas maupun kuantitasnya, namun nilai-nilai itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan serta saling melengkapi.

Kedudukan Filsafat :
a. Filsafat sebagai sastra,
b. Filsafat berpersan dalam sosial politik,
c. Filsafat sebagai metologi,
d. Filsafat berfungsi untuk menganalisa bahasa.


Diantara fungsi filsafat antara lain :
a. Memberi kecerdasan berfikir bagi setiap insan serta menyadasarkan bagaimana pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia.
b. Di dalam memperoleh pengertian secara mandiri dapatlah kita mengembangkan diri, sehingga tidak hanya mau menerima begitu saja pendapat orang lain.
c. Mewajibkan kita untuk dapat menghargai pendapat orang lain, serta saling memanfaatkan pikiran dengan sesamanya.
d. Memberikan kesinambungan, keserasian yang harmonis dimana antara rohani dan jasmani pribadi dan warga masyarakatnya baik kepentingan dunia maupun akhirat.
e. Dapat memelihara peradaban manusia dalam berfikir, sehingga umat manusia dapat mengamalkan filsafat hudup, tujuan hidup untuk menuju kesejahteran dunia yang dicita-citakan.

Sifat Filsafat :
Sifat filsafat bisa dikatakan relatif, sebab orang lain akan berbeda pandangan melihat dari segi apa sesuatu itu di lihat. Tetapi kebenaran yang mutlak adalah dari sang pencipta (Allah SWT). Karena pemikiran manusia berkembang dan akan terus berbeda pandangan karena semakin meningkat ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sistematika, Cabang-cabang dan Aliran Filsafat
A. Sistematika Filsafat
1. Bidang Ontologi
2. Bidang Epistimologis
a. Empirisme
b. Rasionalisme
3. Bidang Aksiologi

B. Cabang-Cabang Filsafat
Di zaman modern ini salah satu sistematika filsafat yang di pandang baik adalag yang disusun oleh staf redaksi ENSIE (Eerste Nederlandsche Sistematich Ingericchte Encyclopedia) yang mengemukakan pembagian filsafat menjadi sembila macam cabang, yaitu :
1. Metafisika
2. Logika
3. Filsafat Mengenal (Heater)
4. Filsafat Pengetahuan (Wetenchap Leer)
5. Filsafat Alam (Natur Philoshophie)
6. Filsafat Kebudayaan (Cultur Philoshophie)
7. Etika
8. Estetika
9. Antropologi


C. Aliran Filsafat
1. Aliran Materialisme
2. Aliran Idealisme
3. Aliran Realisme
4. Filsafat Islam
a. Ya'qub bin Isaq Alkindi
b. Abu Hamid Muhammad Al Ghozali
c. Abu Al Wahid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rosyid

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya suatu nilai-nilai yang bersifat sistematik fundamental dan menyeluruh. Maka sila-sila Pancasila merupakan suatua kesatuan yang bulat dan utuh, hierarkis dan sistematis. Dalam inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.

Selain itu Pancasil adalah suatu sistem filsafat, maksudnya yaitu suatu keseluruhan sistem harus memenuhi lima persyaratan sebagai berikut :
1. Merupakan satu kesatuan,
2. Merupakan tata yang konsisten dan koherens, tidak memandang konktradiksi,
3. Ada kaitan antara bagian satu dengan lainnya,
4. Ada kerjasama yang serasi dan seimbang,
5. Segala sesuatunya mengabdi kepada tujuan bersama yaitu tujuan yang satu.

Secara Filosofis, Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistimologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya, misalnya materilisme liberalisme, pragmatisme, idealisme dan paham lain filsafat di dunia.


Referensi:    http://nabila77.webs.com/materikuliah.htm

PANCASILA SEBAGAI FILOSOFI NEGARA



I.             PENDAHULUAN


Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan perubahan besar pada berbagai bangsa  di dunia. Gelombang besar kekuatan internasional dan transnasional melalui globalisasi telah mengancam bahkan menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia. Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan kebangsaan, karena adanya perbenturan kepentingan antara nasionalisme dan internasionalisme.

Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks dan rumit manakala ancaman internasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang lain muncul masalah internal yaitu maraknya tuntutan rakyat,  yang secara obyektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan  dan keadilan sosial.

Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah konflik internal seperti gambaran di atas mengakibatkan suatu tarik menarik kepentingan yang secara langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang masuk baik secara subyektif maupun obyektif  serta terjadinya pergeseran nilai di masyarakat pada akhirnya mengancam prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia.

 Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (the founding fathers) negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikan maka Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman dari munculnya nilai-nilai baru dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi.

Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa, senantiasa memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing , yang berbeda dengan bangsa lain di dunia dan hal inilah yang disebut sebagai local genius (kecerdasan/kreatifitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal) bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain.

 Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental ‘di atas dasar apakah negara Indonesia merdeka ini didirikan’. Jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan tolok ukur utama  bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain jati diri bangsa akan selalu bertolok ukur kepada  nilai-nilai Pancasila sebagai filsafat bangsa.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Pemahaman demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut menyangkut aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi dari kelima sila Pancasila. 


       II.  Pengertian Filsafat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philein “ yang berarti cinta dan “sophia“ yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat menurut asal katanya berarti cinta akan kebijaksanaan, atau mencintai kebenaran/pengetahuan. Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang seluas-luasnya, yang dapat dikemukakan sebagai keinginan yang menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati. Jadi filsafat secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran yang sejati. Filsafat merupakan Induk Ilmu  pengetahuan. Menurut J. Gredt dalam bukunya “Elementa Philosophiae” Bahwa filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip mencari sebab musababnya yang terdalam”.

a.      Filsafat Pancasila

Menurut Ruslan Abdulgani, bahwa Pancasila  merupakan filsafat negara yang lahir sebagai collectieve Ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita, kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan menurut Notonagoro, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.




b. Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila

Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu antara lain :
- Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan Pancasila.
-  Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut :







 















Dalam susunan yang lain dapat juga digambarkan sebagai berikut :

 
















Atau dapat digambarkan sebagai berikut :
 
 












Ketiga gambar di atas menunjukkan bahwa :
·         Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5
·         Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4, 5
·         Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5
·         Sila 4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3 dan mendasari dan menjiwai sila 5
·         Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, 3, 4
·          
-     Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permanen/primer Pancasila
      sebagai suatu yang ada mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
-     Pancasila sebagai suatu realita, artinya ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya, sebagai suatu kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.

         c.     Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila
Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)      Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
2)      Kausa Formalis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan bentuknya, Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal)
3)      Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka.
4)      Kausa Finalis, maksudnya berhubungan dengan tujuannya, tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi :
1.      Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
2.      Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
3.      Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
4.      Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
5.      Adil, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
     
            d.   Hakikat Nilai-nilai Pancasila

   Nilai adalah suatu ide atau konsep tentang apa yang seseorang pikirkan merupakan hal yang penting dalam hidupnya. Nilai dapat berada di dua kawasan : kognitif dan afektif. Nilai adalah ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Sidney Simon, 1986). Nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi). Langkah-langkah awal dari “nilai” adalah seperti halnya ide manusia yang merupakan potensi pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam dunia pengalaman. Dia nyata dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai adalah jawaban yang jujur tapi benar dari pertanyaan “what you are really, really, really, want.”

        Studi tentang nilai termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika. Estetika cenderung kepada studi dan justifikasi yang menyangkut tentang manusia memikirkan keindahan, atau apa yang mereka senangi. Misalnya mempersoalkan atau menceritakan si rambut panjang, pria pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian bising dan bentuk-bentuk seni lain. Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi tentang aturan atau bagaimana manusia berperilaku. Ungkapan etika sering timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang mempertentangkan antara benar salah, baik-buruk. Pada dasarnya studi tentang etika merupakan pelajaran tentang moral yang secara langsung merupakan pemahaman tentang apa itu benar dan salah.

        Bangsa Indonesia sejak awal mendirikan negara, berkonsensus untuk memegang dan menganut Pancasila sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral bangsa. Konsensus bahwa Pancasila sebagai anutan untuk pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah filosofis merupakan pemufakatan yang normatif. Secara epistemologikal bangsa Indonesia punya keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama yang kesemuanya bergerak vertikal dan horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya untuk mensinkronkan dasar filosofia-ideologi menjadi wujud jati diri bangsa yang nyata dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan negara Indonesia berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat dan sekolah.

Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali nilai-nilai abstrak, hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya yang  berujud konsep pengamalan yang bersifat subyektif dan obyektif. Pengamalan secara obyektif adalah pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan hukum yang secara hierarkhis berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subyektif adalah pengamalan yang dilakukan oleh manusia individual, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laku dan sikap dalam hidup sehari-hari.

Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat dan adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat manusia Indonesia adalah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan dan berperi Keadilan Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila yang bercorak normatif.

Ciri atau karakteristik berpikir filsafat adalah:
 a) sistematis, b) mendalam, c) mendasar, d) analitik, e) komprehensif, f) spekulatif, g) representatif, dan h) evaluatif

Cabang-cabang filsafat meliputi:
a.    Epistemologi (filsafat pengetahuan)
b.    Etika (filsafat moral)
c.    Estetika (filsafat seni)
d.    Metafisika (membicarakan tentang segala sesuatu dibalik yang ada)
e.    Politik (filsafat pemerintahan)
f.     Filsafat Agama
g.    Filsafat Ilmu
h.    Filsafat Pendidikan
i.      Filsafat hukum
j.      Filsafat Sejarah
k.    Filsafat Matematika
l.      Kosmologi (membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur)


Aliran Filsafat meliputi :

a. Rationalisme           f. Stoisme                           i.  Materialisme
b. Idealisme                g. Marxisme                        j. Utilitarianisme
c. Positivisme              h.  Realisme                        k. Spiritualisme           
d. Eksistensialisme                                                 l.  Liberalisme
e. Hedonisme


II.          KAJIAN ONTOLOGIS


Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa ?, karena manusia merupakan subyek hukum pokok dari sila sila Pancasila.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan indonesia, berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakekatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).

Jadi secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila sila Pancasila secara ontologi memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Juga sebagai makluk individu dan sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makluk pribadi dan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005).

Selanjutnya Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makluk individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai nilai  Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.

Kemudian seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara dan segala sapek penyelenggaraan negara lainnya.


III.       KAJIAN EPISTIMOLOGI


Kajian epistimologi filsafat  pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena  epistimologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakekat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistimologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakekat manusia.

Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu :
1.      tentang sumber pengetahuan manusia;
2.      tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
3.      tentang watak pengetahuan manusia.

 Epistimologi Pancasila sebagai suatu obyek kajian pengetahuan pada hakekatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila.

Selanjutnya susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana :
o   Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
o   Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
o   Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima
o   Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima
o   Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Demikianlah maka susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga mennyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberilandasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakekatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi.

Selanjutnya kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.

Selain itu dalam sila ketiga, keempat dan kelinma, maka epistimologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakekat sifat kodrat manusia  sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.

Sebagai suatu paham epistimologi, maka Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. 


               V.KAJIAN AKSIOLOGI

 Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian ( Frankena, 229).

Di dalam Dictionary of sociology an related sciences dikemukakan bahwa nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu, misalnya; bunga itu indah, perbuatan itu baik. Indah dan baik adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.

Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan  pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi adalah nilai material, sementara kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif, namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.

      Notonagoro merinci tentang nilai ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan panca indra maupun alat pengukur. Tetapi nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan manusia (Kaelan, 2005).

      Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).

Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan menusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
     
7.      FILSAFAT PANCASILA DALAM KONTEKS PKN

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.

Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat hukum (legal society).

Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam  suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama/kehidupan (hakikat sila kelima


4.DATA DAN FAKTA
            Proses Perumusan Pancasila
Proses perumusan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sidang-sidang yang terjadi di BPUPKI  (29 Mei – 1 Juni 1945). Dalam sidang tersebut Mr. Muhammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
1) Peri Kebangsaan,       
2) Peri Kemanusiaan,
3) Ke­-Tuhanan,
4) Peri-kerakyatan, (a. Permusyawaratan, b. Perwakilan, c. kebijaksanaan), dan    
5) Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial).

Sedangkan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut:
1) teori negara perseorangan (individualitis),
2) paham negara kelas (class theory), dan
3) paham negara integralistik.

     Selanjutnya dalam kaitannya dengan falsafah negara Indonesia Soepomo mengusulkan :
a)      negara nasional yang bersatu,                 
b)      dianjurkan supaya warga negara tunduk kepada Tuhan,
c)      dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan,         
d)      ekonomi negara bersifat kekeluargaan, dan) mengenai hubungan antar bangsa menganjurkan upaya-upaya Indonesia bersifat negara Asia Timur Raya.

Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan dasar negara dalam lima prinsip dasar, yaitu:
1)      nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
2)      internasionalisme (peri-kemanusiaan),
3)      mufakat (demokrasi),
4)      kesejahteraan sosial.
5)      ketuhanan yang berkebudayaan (juga Ketuhanan Yang Maha Esa).


5.KASUS/ ILUSTRASI

 
 






















6.      LATIHAN
a. Jawablah dengan jelas dan singkat pertanyaan di bawah ini !
1.      Jelaskan pengertian filsafat ?
2.      Jelaskan pengertian filsafat Pancasila ?
3.      Sebagai suatu sistem filsafat , sila-sila Pancasila memiliki kesatuan yang utuh dan bulat . Jelaskan dengan skema yang menggambarkan hal tersebut!
4.      Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia, jelaskan yang dimaksud ?
5.      Aspek ontologi pancasila mengkaji tentang hakekat keberadaan Pancasila sebagai filsafat bangsa. Jelaskan !
6.      Aspek Epistimologi Pancasila mengakaji tentang hakekat pengetahuan. Bagaimana hubungannya dengan pengetahuan tentang Pancasila dari aspek epistimologi tersebut.
7.      Aspek Aksiologi Pancasila mengkaji tentang hakekat nilai-nilai Pancasila. Jelaskan !
8.      Jelaskan bagaimana kajian tentang filsafat Pancasila dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan ?

b. Kerjakan tugas di bawah ini !
1. Lakukan studi kepustakaan dari buku-buku filsafat Plato, Aristoteles, dan       Notonagoro !
2. Diskusikan dengan kelompok Anda dari hasil studi kepustakaan tersebut !
3.  Buat laporan kelompok dari hasil diskusi yang Anda lakukan !
4.      Buat laporan buku secara individu dari salah satu buku filsafat Pancasila Notonagoro !


7.      DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fukuyama, F. 1989, The End of History, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, H. 48, Polity Press, Cambridge.

Kaelan, 2005,  Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.

Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat Pancasila, Gramedia, Jakarta.

Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.

Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.

Titus Harold, and Marilyn S., Smith, Richard T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi, Penerbit bulan Bintang, Jakarta.



Referensi: uny.ac.id