I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan perubahan besar pada berbagai bangsa di dunia. Gelombang besar kekuatan
internasional dan transnasional melalui globalisasi telah mengancam bahkan
menguasai eksistensi negara-negara kebangsaan, termasuk Indonesia.
Akibat yang langsung terlihat adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam
kehidupan kebangsaan, karena adanya perbenturan kepentingan antara nasionalisme
dan internasionalisme.
Permasalahan
kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia
menjadi semakin kompleks dan rumit manakala ancaman internasional yang terjadi
di satu sisi, pada sisi yang lain muncul masalah internal yaitu maraknya
tuntutan rakyat, yang secara obyektif
mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Paradoks
antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah konflik internal
seperti gambaran di atas mengakibatkan suatu tarik menarik kepentingan yang
secara langsung mengancam jati diri bangsa. Nilai-nilai baru yang masuk baik
secara subyektif maupun obyektif serta
terjadinya pergeseran nilai di masyarakat pada akhirnya mengancam
prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia.
Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan
oleh peletak dasar (the founding fathers)
negara Indonesia
yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat bernegara
itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikan maka Pancasila sebagai filsafat
hidup bangsa Indonesia
saat ini mengalami ancaman dari munculnya nilai-nilai baru dari luar dan
pergeseran nilai-nilai yang terjadi.
Secara
ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa, senantiasa memiliki
suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing , yang berbeda dengan
bangsa lain di dunia dan hal inilah yang disebut sebagai local genius (kecerdasan/kreatifitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal) bangsa.
Dengan demikian bangsa Indonesia
tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan
bangsa lain.
Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk
menjawab suatu pertanyaan yang fundamental ‘di
atas dasar apakah negara Indonesia
merdeka ini didirikan’. Jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu
menjadi dasar dan tolok ukur utama
bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain jati diri bangsa akan selalu
bertolok ukur kepada nilai-nilai
Pancasila sebagai filsafat bangsa.
Pancasila
yang terdiri atas lima
sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Pemahaman demikian memerlukan
pengkajian lebih lanjut menyangkut aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi
dari kelima sila Pancasila.
II. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa
Yunani “philein “ yang berarti cinta
dan “sophia“ yang berarti
kebijaksanaan. Jadi filsafat menurut asal katanya berarti cinta akan kebijaksanaan, atau mencintai kebenaran/pengetahuan.
Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang seluas-luasnya, yang dapat dikemukakan
sebagai keinginan yang menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan
kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati. Jadi filsafat
secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk
mencari kebenaran yang sejati. Filsafat merupakan Induk Ilmu pengetahuan. Menurut J. Gredt dalam bukunya
“Elementa Philosophiae” Bahwa filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul
dari prinsip-prinsip mencari sebab musababnya yang terdalam”.
a. Filsafat Pancasila
Menurut Ruslan Abdulgani, bahwa
Pancasila merupakan filsafat negara yang
lahir sebagai collectieve Ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia.
Dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa
yang mendalam yang dilakukan oleh the
founding father kita, kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat.
Sedangkan menurut Notonagoro, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan
pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.
b. Karakteristik
Sistem Filsafat Pancasila
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki
karakteristik sistem filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya,
yaitu antara lain :
- Sila-sila Pancasila
merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas).
Dengan pengertian lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila
lainnya terpisah-pisah, maka itu bukan Pancasila.
- Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang
bulat dan utuh itu dapat digambarkan sebagai berikut :
Dalam susunan yang lain dapat juga
digambarkan sebagai berikut :
Atau
dapat digambarkan sebagai berikut :
Ketiga
gambar di atas menunjukkan bahwa :
·
Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, 5
·
Sila 2, diliputi, didasari,
dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4, 5
·
Sila 3, diliputi, didasari,
dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila 4, 5
·
Sila 4, diliputi, didasari,
dijiwai sila 1, 2, 3 dan mendasari dan menjiwai sila 5
·
Sila 5, diliputi, didasari,
dijiwai sila 1, 2, 3, 4
·
- Pancasila sebagai suatu substansi,
artinya unsur asli/permanen/primer Pancasila
sebagai suatu yang ada mandiri, yang
unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
- Pancasila sebagai suatu realita,
artinya ada dalam diri manusia Indonesia dan masyarakatnya, sebagai suatu
kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan
sehari-hari.
c.
Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila
Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1) Kausa Materialis, maksudnya sebab yang
berhubungan dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari
nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia sendiri.
2) Kausa Formalis, maksudnya sebab yang
berhubungan dengan bentuknya, Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD ’45
memenuhi syarat formal (kebenaran formal)
3) Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI
dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia
merdeka.
4) Kausa Finalis, maksudnya berhubungan
dengan tujuannya, tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
merdeka.
Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi
:
1. Tuhan, yaitu sebagai kausa
prima
2. Manusia, yaitu makhluk
individu dan makhluk sosial
3.
Satu, yaitu kesatuan memiliki
kepribadian sendiri
4.
Rakyat, yaitu unsur mutlak
negara, harus bekerja sama dan gotong royong
5.
Adil, yaitu memberikan keadilan
kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
d. Hakikat Nilai-nilai Pancasila
Nilai adalah suatu ide atau
konsep tentang apa yang seseorang pikirkan merupakan hal yang penting dalam
hidupnya. Nilai dapat berada di dua kawasan : kognitif dan afektif. Nilai
adalah ide, bisa dikatakan konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Sidney Simon,
1986). Nilai merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih
memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dan
efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi). Langkah-langkah awal dari “nilai”
adalah seperti halnya ide manusia yang merupakan potensi pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam
dunia pengalaman. Dia nyata dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan
oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai
adalah jawaban yang jujur tapi benar dari pertanyaan “what you are really, really, really, want.”
Studi tentang nilai
termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika. Estetika cenderung kepada
studi dan justifikasi yang menyangkut tentang manusia memikirkan keindahan,
atau apa yang mereka senangi. Misalnya mempersoalkan atau menceritakan si
rambut panjang, pria pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian bising dan
bentuk-bentuk seni lain. Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi
tentang aturan atau bagaimana manusia berperilaku. Ungkapan etika sering timbul
dari pertanyaan-pertanyaan yang mempertentangkan antara benar salah,
baik-buruk. Pada dasarnya studi tentang etika merupakan pelajaran tentang moral
yang secara langsung merupakan pemahaman tentang apa itu benar dan salah.
Bangsa Indonesia sejak
awal mendirikan negara, berkonsensus untuk memegang dan menganut Pancasila
sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral bangsa. Konsensus bahwa Pancasila
sebagai anutan untuk pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah filosofis
merupakan pemufakatan yang normatif. Secara epistemologikal bangsa Indonesia punya
keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas Pancasila ini sebagai
suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem nilai budaya bangsa dan agama
yang kesemuanya bergerak vertikal dan horizontal serta dinamis dalam kehidupan
masyarakat. Selanjutnya untuk mensinkronkan dasar filosofia-ideologi menjadi
wujud jati diri bangsa yang nyata dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan
negara Indonesia
berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan
Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat dan
sekolah.
Refleksi
filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali nilai-nilai abstrak,
hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian dijadikan pangkal tolak
pelaksanaannya yang berujud konsep
pengamalan yang bersifat subyektif dan obyektif. Pengamalan secara obyektif
adalah pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang
penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan hukum yang secara hierarkhis
berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik dan
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subyektif adalah
pengamalan yang dilakukan oleh manusia individual, baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga masyarakat ataupun sebagai pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya
berupa tingkah laku dan sikap dalam hidup sehari-hari.
Nilai-nilai
yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat dan adil dijabarkan
menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat manusia Indonesia adalah untuk
memiliki sifat dan keadaan yang berperi Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi
Kemanusiaan, berperi Kebangsaan, berperi Kerakyatan dan berperi Keadilan
Sosial. Konsep Filsafat Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila
yang bercorak normatif.
Ciri atau karakteristik
berpikir filsafat adalah:
a)
sistematis, b) mendalam, c) mendasar, d) analitik, e) komprehensif, f) spekulatif, g) representatif, dan h)
evaluatif
Cabang-cabang filsafat
meliputi:
a. Epistemologi (filsafat
pengetahuan)
b. Etika (filsafat moral)
c. Estetika (filsafat seni)
d. Metafisika (membicarakan
tentang segala sesuatu dibalik yang ada)
e. Politik (filsafat
pemerintahan)
f. Filsafat Agama
g. Filsafat Ilmu
h. Filsafat Pendidikan
i. Filsafat hukum
j. Filsafat Sejarah
k. Filsafat Matematika
l. Kosmologi (membicarakan
tentang segala sesuatu yang ada yang teratur)
Aliran Filsafat meliputi :
a. Rationalisme f. Stoisme i. Materialisme
b. Idealisme g.
Marxisme j.
Utilitarianisme
c. Positivisme h. Realisme k. Spiritualisme
d. Eksistensialisme l. Liberalisme
e. Hedonisme
II.
KAJIAN ONTOLOGIS
Secara
ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila adalah
manusia. Mengapa ?, karena manusia merupakan subyek hukum pokok dari sila
sila Pancasila.
Hal
ini dapat dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang
adil dan beradab, berkesatuan indonesia,
berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada
hakekatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Jadi
secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila Pancasila adalah manusia.
Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa manusia sebagai
pendukung pokok sila sila Pancasila secara ontologi memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani.
Juga sebagai makluk individu dan sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai
makluk pribadi dan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, maka
secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai
keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya
Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan
lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat
dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat monodualis, sebagai makluk
individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta kedudukannya sebagai
makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan.
Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai
nilai Pancasila yang merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat
manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian
seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi
bangsa Indonesia.
Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negara harus
dijabarkan dan bersumberkan pada nilai nilai Pancasila, seperti bentuk negara,
sifat negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban negara dan warga negara,
sistem hukum negara, moral negara dan segala sapek penyelenggaraan negara lainnya.
III. KAJIAN
EPISTIMOLOGI
Kajian epistimologi filsafat
pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena epistimologi merupakan bidang filsafat yang
membahas hakekat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistimologi
Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu
dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya
tentang hakekat manusia.
Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam
epistimologi yaitu :
1. tentang sumber pengetahuan
manusia;
2. tentang teori kebenaran
pengetahuan manusia;
3. tentang watak pengetahuan
manusia.
Epistimologi Pancasila sebagai
suatu obyek kajian pengetahuan pada hakekatnya meliputi masalah sumber
pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Tentang sumber
pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai
yang ada pada bangsa Indonesia
sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa nilai-nilai
tersebut sebagai kausa materialis Pancasila.
Selanjutnya susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan
sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu. Susunan
kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk
piramidal, dimana :
o
Sila pertama Pancasila
mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
o
Sila kedua didasari sila
pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
o
Sila ketiga didasari dan
dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan
kelima
o
Sila keempat didasari dan
dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila
kelima
o
Sila kelima didasari dan
dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah maka susunan
Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun
kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga mennyangkut kualitas
maupun kuantitasnya. Selain itu, dasar-dasar rasional logis Pancasila juga
menyangkut isi arti sila-sila Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
memberilandasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi.
Manusia pada hakekatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi
Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai
tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya kebenaran dan
pengetahuan manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara
potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk
mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu dalam sila ketiga,
keempat dan kelinma, maka epistimologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus
terutama dalam kaitannya dengan hakekat sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.
Sebagai suatu paham
epistimologi, maka Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan
pada hakekatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka
moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan
suatu tingkatan pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila
secara epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun
perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
V.KAJIAN AKSIOLOGI
Kajian
aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang nilai praksis
atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat
dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya
sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (
Frankena, 229).
Di dalam Dictionary of sociology an related sciences dikemukakan bahwa nilai
adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai, artinya
ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu, misalnya; bunga itu
indah, perbuatan itu baik. Indah dan baik adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya.
Adanya nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat berbagai macam teori
tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut
pandangnya masing-masing dalam menentukan
pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang
tertinggi adalah nilai material, sementara kalangan hedonis berpandangan bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam
pandangan tentang nilai dapat dikelompokan pada dua macam sudut pandang, yaitu
bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu
manusia. Hal ini bersifat subjektif, namun juga terdapat pandangan bahwa pada
hakekatnya sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Notonagoro
merinci tentang nilai ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam
hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada
pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada yang mendasarkan pada
orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi
pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur
menggunakan panca indra maupun alat pengukur. Tetapi nilai yang bersifat
rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani manusia
sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan
manusia (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai
Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang
mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila
yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara
lengkap dan harmonis seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran,
nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai
kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana sila
pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila
Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis, bangsa
Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan
yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang
menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai.
Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai
itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala
dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan menusia dan bangsa Indonesia, maka
bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap,
tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
7.
FILSAFAT PANCASILA DALAM
KONTEKS PKN
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia
pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis,
fundamental dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila Pancasila merupakan suatu
nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem
filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna
sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat
bangsa dan negara Republik Indonesia mengandung makna bahwa setiap aspek
kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari pandangan bahwa negara adalah
merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang
merupakan masyarakat hukum (legal society).
Adapun negara yang didirikan
oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga negara
sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila
pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan
martabat manusia sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan
suatu negara sebagai suatu organisasi hidup manusia harus membentuk suatu
ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat
sila ketiga). Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat
sebagai suatu bangsa yang hidup dalam
suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya dalam hidup kenegaraan itu
haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal mula kekuasaan
negara. Maka negara harus bersifat demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus
dijamin, baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai
tujuan bersama, maka dalam hidup kenegaraan harus mewujjudkan jaminan
perlindungan bagi seluruh warga, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh
warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam
kehidupan bersama/kehidupan (hakikat
sila kelima)
4.DATA DAN FAKTA
Proses Perumusan Pancasila
Proses
perumusan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sidang-sidang yang terjadi di
BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945). Dalam
sidang tersebut Mr. Muhammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia
merdeka yaitu:
1) Peri Kebangsaan,
2) Peri Kemanusiaan,
3) Ke-Tuhanan,
4) Peri-kerakyatan, (a. Permusyawaratan, b. Perwakilan, c. kebijaksanaan),
dan
5) Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial).
Sedangkan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan
teori-teori negara sebagai berikut:
1) teori negara perseorangan (individualitis),
2) paham negara kelas (class theory), dan
3) paham negara integralistik.
Selanjutnya
dalam kaitannya dengan falsafah negara Indonesia Soepomo mengusulkan :
a) negara nasional yang
bersatu,
b) dianjurkan supaya warga
negara tunduk kepada Tuhan,
c) dalam susunan pemerintahan
negara Indonesia
harus dibentuk sistem badan permusyawaratan,
d) ekonomi negara bersifat
kekeluargaan, dan) mengenai hubungan antar bangsa menganjurkan upaya-upaya Indonesia
bersifat negara Asia Timur Raya.
Ir.
Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan dasar negara dalam lima prinsip dasar,
yaitu:
1) nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
2) internasionalisme
(peri-kemanusiaan),
3) mufakat (demokrasi),
4) kesejahteraan sosial.
5) ketuhanan yang berkebudayaan
(juga Ketuhanan Yang Maha Esa).
5.KASUS/ ILUSTRASI
6. LATIHAN
a. Jawablah dengan jelas dan singkat
pertanyaan di bawah ini !
1.
Jelaskan pengertian filsafat ?
2.
Jelaskan pengertian filsafat Pancasila ?
3.
Sebagai suatu sistem filsafat , sila-sila Pancasila
memiliki kesatuan yang utuh dan bulat . Jelaskan dengan skema yang
menggambarkan hal tersebut!
4.
Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia,
jelaskan yang dimaksud ?
5.
Aspek ontologi pancasila mengkaji tentang hakekat
keberadaan Pancasila sebagai filsafat bangsa. Jelaskan !
6.
Aspek Epistimologi Pancasila mengakaji tentang hakekat
pengetahuan. Bagaimana hubungannya dengan pengetahuan tentang Pancasila dari
aspek epistimologi tersebut.
7.
Aspek Aksiologi Pancasila mengkaji tentang hakekat
nilai-nilai Pancasila. Jelaskan !
8. Jelaskan bagaimana kajian tentang filsafat
Pancasila dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan ?
b. Kerjakan tugas di bawah ini !
1. Lakukan studi kepustakaan
dari buku-buku filsafat Plato, Aristoteles, dan Notonagoro !
2. Diskusikan dengan kelompok Anda dari hasil studi kepustakaan
tersebut !
3. Buat laporan kelompok dari
hasil diskusi yang Anda lakukan !
4.
Buat laporan buku secara individu dari salah satu buku
filsafat Pancasila Notonagoro !
7. DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok
Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fukuyama, F. 1989, The End of
History, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, H. 48, Polity
Press, Cambridge.
Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa
Negara Indonesia, Makalah
pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
Notonagoro,
1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi
Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat
Pancasila, Gramedia, Jakarta.
Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah
Pemikiran tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.
Suseno, Franz,
Magnis, 1987, Etika Politik :
Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Titus Harold,
and Marilyn S., Smith, Richard T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi, Penerbit
bulan Bintang, Jakarta.
Referensi:
uny.ac.id